Tahun ini Pemkot Malang memutuskan untuk me-rebranding logo Beautiful Malang yang sudah dipakai selama 4 tahun belakangan. Sayangnya proses rebranding kali ini (lagi-lagi) menuai reaksi dari masyarakat.
Pada tanggal 8 Agustus 2019 pagi, grup WhatsApp ADGI Chapter Malang tiba-tiba ramai karena berita bahwa Pemerintah Kota Malang telah menunjuk vendor untuk proyek rebranding Kota Malang. Yang membuat semua heboh adalah tidak adanya kabar maupun informasi dari Pemkot Malang mengenai upaya rebranding ini. Lebih mengejutkan lagi, vendor pemenang lelang yang terpilih adalah Markplus. Nah, sebelum membahas tentang Markplus, saya akan membahas tentang branding Kota Malang yang terdahulu.
Upaya Rebranding Kota Malang
Kota Malang hingga saat ini (2019) belum pernah mempunyai konsep city branding yang jelas—ini adalah fakta yang harus kita sepakati. Titik terendah dari upaya me-rebranding kota Malang adalah saat munculnya logo Beautiful Malang pada tahun 2015 lalu. Setelah logo tersebut tiba-tiba dirilis, berbagai reaksi dari masyarakat muncul karena logo tersebut dinilai tidak dikerjakan secara profesional dan terkesan terburu-buru. Analisis yang menarik disampaikan oleh salah satu praktisi branding dari Kota Malang, Affan Hakim pada artikel ini. Saya rasa kejadian ini harusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pemkot Malang untuk melibatkan ahli dan praktisi dalam upaya rebranding kota Malang di kemudian hari. Ternyata kejadian tersebut tidak sepenuhnya berdampak buruk. Sejak “kehebohan” tersebut, hubungan praktisi desain, masyarakat, dan Pemkot Malang mulai terjalin, terbukti dari kolaborasi dan kerja sama dalam beberapa proyek.
Lalu apa yang terjadi pada branding Kota Malang setelah “kehebohan” Beautiful Malang di tahun 2015? Tidak ada. Pihak Pemkot menyatakan bahwa logo tersebut telah disahkan dan tidak mungkin ditarik lagi. Harapan satu-satunya adalah pada kesempatan reposisi dan rebranding berikutnya setelah logo Beautiful Malang dirasa telah usang. Tak kehilangan akal, praktisi desain Kota Malang menekan Pemkot untuk membuat maskot baru untuk kota. Proyek maskot ini dikabulkan Pemkot, tapi menurut saya sih ini akal-akalan mereka saja untuk meredam “keributan” dari penggunaan logo Beautiful Malang yang kurang ideal hehehe. Program desain maskot ini menurut saya cukup sukses meskipun menggunakan format “sayembara”. Hasilnya adalah karakter OSI dan JI karya Papang Jafar, ilustrator kenamaan Kota Malang.
Kesempatan Kedua Rebranding Kota Malang
Setelah kurang lebih 4 tahun sejak kemunculan Beautiful Malang, akhirnya saat itu tiba. Pemkot memutuskan untuk membuka lelang terbuka. Belanja Jasa Konsultansi Penelitian Analisis Reposisi dan Rebranding Kota Malang yang diumumkan pada tanggal 22 April 2019 dengan nilai pagu paket Rp 277.000.000. Meskipun statusnya lelang terbuka, namun ternyata Pemkot sama sekali tidak menginformasikan dan melibatkan masyarakat maupun komunitas praktisi desain seperti ADGI, IxDA, dan Aidia, bahkan setelah pemenang terpilih diumumkan. Sontak banyak pihak mengungkapkan kekecewaannya karena Pemkot dianggap tidak menghiraukan keberadaan masyarakat dan komunitas pemerhati desain. Dan yang paling parah, Pemkot dianggap menyalahi komitmen tentang upaya bersama menyusun city branding yang ideal untuk Kota Malang. Nah lho.
Detail lelang Rebranding Kota Malang. Source: https://lpse.malangkota.go.id
Jadwal lelang Rebranding Kota Malang. Source: https://lpse.malangkota.go.id.
Peserta lelang Rebranding Kota Malang. Source: https://lpse.malangkota.go.id.
Reaksi tidak muncul dari komunitas pemerhati desain saja, namun juga dari elemen-elemen lain yang tergabung dalam Malang Creative Fusion (MCF). Faktanya, pada bulan Juni lalu Malang telah terpilih oleh BEKRAF sebagai Kota Kreatif Indonesia, jadi jelas pemilihan agensi dari luar Malang juga menimbulkan reaksi negatif. Kota Malang memiliki sumber daya manusia yang mampu untuk mengerjakan proyek prestisius ini, jadi sudah seharusnya kalau peran aktif dari praktisi, akademisi, dan masyarakat asli Malang menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
Terlebih lagi, dalam proses city branding, masyarakat bukanlah sekadar objek riset belaka. Identitas kota adalah hak milik masyarakat, jadi sudah sewajarnya jika potensi SDM Kota Malang di bidang kreatif dan DKV dapat dimanfaatkan dalam proses rebranding. Menurut statistik, ada 6 universitas di Malang yang memiliki program desain seperti Universitas Negeri Malang, Universitas Brawijaya, Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia (STIKI), Universitas Machung, Universitas Bina Nusantara (Binus), dan STMIK ASIA. Komunitas pegiat dan pemerhati desain pun banyak jumlahnya—sebut saja ADGI Chapter Malang, IxDA Malang, AIDIA Malang, Lettering Malang, Malang Illustrator + Comic Artist, dan Muslim Designer Community Malang.
Keputusan Pemkot Malang untuk tidak melibatkan komunitas seperti ADGI Chapter Malang juga dipertanyakan. For the record, ADGI Chapter Malang merupakan partner desain dari Pemkot. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, beberapa proyek lahir dari kolaborasi ini, contohnya branding Kampung DAM Sekabrom (Semeru, Kayutangan, Bromo) dan Kampung Kramat.
Proyek-proyek di atas harusnya bisa menjadi awal yang baik untuk pengembangan potensi desain di Kota Malang. Sebagaimana ADGI Pusat yang ikut andil dalam proyek besar dalam skala nasional seperti desain logo kemerdekaan RI, besar harapan agar Pemkot Malang juga melibatkan komunitas-komunitas lokal dalam membangun kota dalam konteks desain.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah belum memaksimalkan potensi SDM ini, padahal faktor ini memegang peran penting dalam pengembangan roadmap ekonomi kreatif sub sektor DKV Kota Malang dalam tahun-tahun ke depan. Lalu, apa gunanya ditasbihkan menjadi Kota Kreatif jika hal itu hanya menjadi label belaka tanpa substansi?
Rekam Jejak Markplus dalam City Branding
Markplus adalah sebuah firma konsultan marketing yang didirikan pada tahun 1990 oleh Maestro Pemasaran Indonesia, Hermawan Kertajaya. Sebagai sebuah perusahaan yang berusia hampir dua dekade tentu saja Markplus mempunyai segudang pengalaman menangani proyek-proyek milik swasta maupun pemerintah. Sumber kekhawatiran saya adalah bencana city branding yang terjadi di Kota Jogjakarta pada tahun 2014 lalu. Saat itu Markplus menangani proyek ini dengan nilai 1,5 milyar diambil dari dana keistimewaan Jogjakarta. Pemilihan Markplus dalam rebranding Jogja waktu itu didasarkan pada Logo Jogja Never-ending Asia yang bisa dikatakan lumayan sukses. Namun, sayangnya, rebranding kedua ini tidak berjalan mulus.
Desain baru yang diumumkan terlihat lebih modern, geometris, rapi dan minimalis. Itu saja. Tidak ada sesuatu yang berkesan untuk diingat. Parahnya lagi dari segi keterbacaan logo ini lebih terbaca TOGUA dibanding dengan JOGJA :). Publik pun ramai-ramai membahas (mencibir lebih tepatnya) logo tersebut. Berbagai analisis, guyonan, hingga makian masih bisa ditemukan jejak digitalnya hingga saat ini, dan saya rasa ini adalah noda bagi citra Markplus sebagai konsultan marketing besar di Indonesia. Sebagai pribadi, saya rasa kekuatan Markplus memang bukan di desain visual.
Akibat tingginya tekanan dari publik Jogja menolak logo hasil Markplus, akhirnya diadakan sayembara logo baru untuk Jogja. Lebih dari 2000 usulan desain logo dan tagline diterima dari warga, lalu tim khusus memilih yang terbaik untuk diajukan kepada Sri Sultan HB X selaku Gubernur DIY. Akhirnya, dipilihlah sebuah desain yang digunakan hingga saat ini. Sebuah proses yang panjang bagi masyarakat Jogja hingga akhirnya memiliki identitas visual yang dapat diterima sebagian besar masyarakatnya.
Belajar dari kasus rebranding Jogja tersebut, identitas Kota Malang yang baru nanti harus dapat diterima dengan baik oleh warganya, dan di sisi lain memberi citra yang baik bagi masyarakat di luar Malang. Hal ini bisa diwujudkan dengan keterlibatan Pemkot Malang dan semua elemen masyarakat dari lapisan paling bawah.
Partisipasi aktif dari semua pihak dan transparansi dari Pemkot Malang adalah kunci dari proses rebranding. Proses ini bisa dimulai dari penelitian/riset dari akademisi yang mengetahui lebih baik seluk beluk dan karakteristik Kota Malang serta praktisi ahli yang siap untuk mewadahi dan mengawasi pelaksanaannya. Terlebih lagi, dalam prosesnya, city branding tidak hanya melibatkan visual, tetapi juga marketing untuk memperkenalkan identitas Malang yang baru ke masyarakat luar Malang—dan pada akhirnya pada skala nasional. Fase ini krusial; oleh karena itu, dengan proses yang melibatkan masyarakat Kota Malang, hasilnya diharapkan bisa lebih mudah diterima dan diaplikasikan karena terciptanya rasa memiliki yang kuat dari masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya. Hal ini tentunya akan mempermudah kinerja pemkot dalam aktivasi city branding nantinya.
Akan tetapi, bila pada akhirnya Pemkot tetap keukeuh dengan keputusan awal, maka penyusunan metode perumusan desain juga harus diatur sedemikian rupa agar tercipta kolaborasi yang harmonis antar seluruh unsur terkait seperti pihak Pemkot Malang, pihak Markplus, asosiasi-asosiasi, akademisi dan perwakilan masyarakat. Selain partisipasi aktif semua elemen masyarakat sebagai pemilik kota, transparansi dalam proses pengerjaan sangat diperlukan demi terciptanya identitas visual yang representatif.
Proses audiensi dengan pihak Pemkot Malang yang akan dilakukan pada hari Jumat (13 September 2019) merupakan satu dari usaha yang ditempuh—komunitas, akademisi praktisi desain, pekerja kreatif, dan berbagai perwakilan lain dari berbagai elemen masyarakat Kota Malang—demi identitas visual kota yang lebih baik dan bisa diterima semua kalangan.
Saya akan tetap meng-update perkembangan dari proses rebranding Kota Malang di post ini. Stay tuned.
Share your thoughts